Senin, 05 September 2011

materi-materi dan Perngertian Qurban, Sholat Qodho, Sholat Musafir, Haji badal, Bingkisan Lebaran

1. ARISAN QURBAN
1. Arisan Qurban
Memang cara yang anda ceritakan itu bisa ditafsirkan dari berbagai sudut pandang. Misalnya, bisa saja orang mengatakan bahwa cara yang demikian itu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW. Sebab berqurban dengan sistem arisan memang tidak pernah terjadi di masa lalu.
Namun hukum arisan itu sendiri sebenarnya halal, selama semua syarat dan ketentuannya dipatuhi, serta tidak mengandung unsur riba dan penipuan.
Di balik sistem arisan yang dibenarkan syariah, juga ada manfaat lain, misalnya untuk memberikan motivasi mengumpulkan uang atau menabung, meski tidak selalu berhasil untuk semua orang. Tetapi sebagai salah satu teknik menabung, dalam beberapa kasus sering juga berhasil.
Jadi intinya, arisan yang anda sebutkan itu hanya upaya atau trik lain dari menabung. Toh, ujung-ujungnya sama saja. Yaitu setiap orang mengumpulkan uangnya dari kantong masing-masing selama kira-kira empat tahun. Dan sudah diperhitungkan bahwa selama menabung 4 tahun itu akan terkumpul 4 ekor sapi. Tiap sapi adalah qurban dari 7 orang.
Bentuk arisan seperti ini juga ada kemiripan dengan cara lain, misalnya dengan infak untuk qurban. Infaq untuk qurban ini sering diselenggarakan di sekolah-sekolah. Bedanya, yang ini judulnya infak, bukan tabungan. Niat masing-masing anak sekolah bukan berqurban tetapi berinfak biasa.
Sebagai sebuah perumpamaan, bila ada 100 orang murid yang banyak itu masing-masing berinfak kepada satu orang, katakanlah seorang seribu rupiah sehari, maka dalam sehari terkumpul 100.000 rupiah. Dalam sepuluh hari akan terkumpul infaq sebesar 1 juta rupiah.
Uang infak yang terkumpul itu diserahkan kepada satu orang, bukan dengan niat ibadah qurban tetapi sedekah biasa. Barulah kemudian si penerima infaq ini membeli seekor kambing dengan niat untuk beribadah qurban untuk dirinya. Dan tentu saja pahalanya untuk dirinya sendiri. Ketika kambing akan disembelih, maka nama yang disebutkan adalah nama dirinya, bukan nama semua anak sekolah itu.
Seandainya infak ini dilakukan bukan hanya selama sepuluh hari, tetapi selama setahun, katakannya 350 hari, maka jumlah uang yang terkumpul adalah Rp 35.000.000 (tiga puluh lima juta rupiah). Tentunya jumlah hewan yang akan disembelih jadi lebih banyak.
2. Makna Qurban Wajib
Yang dimaksud dengan qurban wajib adalah qurban yang hukumnya wajib untuk dikerjakan. Padahal hukum dasar menyembelih hewan qurban bukan wajib, melainkan sunnah. Lalu mengapa bisa jadi wajib?
Suatu perbuatan yang hukum asalnya sunnah lalu bisa menjadi wajib disebabkan beberapa hal. Di antaranya karena dinadzarkan.
Misalnya, seseorang bernadzar bahwa tahun ini akan menyembelih hewan qurban, apabila doanya terkabul oleh Allah SWT. Bila nadzar itu sudah disebutkan, lalu doanya memang nyata terkabul, maka khusus bagi yang bersangkutan, hukum menyembelih hewan qurban menjadi wajib. Namun pengertian nadzar berbeda dengan sekedar niat atau keinginan. Keduanya berbeda dalam konsekuensi.
Orang yang sudah bernadzar tidak boleh meninggalkan apa yang telah dinadzarkannya. Tetapi orang yang sekedar menabung ingin menyembelih hewan qurban, boleh saja mengubah niatnya.
Seandainya seorang yang sekedar mengumpukan uang untuk bisa menyembelih qurban langsung dituduh bernazar, maka berarti begitu banyak qurban yang hukumnya wajib.
3. Sembelihan Wajib atau Nadzar Tidak Boleh Dimakan Sendiri
Sebagian ulama memang mengatakan bahwa sembelihan hewan qurban yang bersifat wajib, tidak boleh dimakan sendiri oleh yang berqurban. Pernyataan seperti ini bisa kita dapati di kitab-kitab fiqih mazhab As-Syafi’iyah. Misalnya dalam kitab Kifayatul Akhyar jilid 2 halaman 232. Di sana disebutkan bahwa:
Wala ya’kulul mudhahhi syaian minal udhiyatil manzdurah wa’kul minal mutathawwa’ biha. Wa la yabi’u minha.
Orang yang berqurban tidak boleh memakan dari hewan sembelihannya yang bersifat nazdar, namun boleh memakan yang hukumnya tathawwu’ (sunnah). Dan tidak boleh menjualnya.
Alasannya karena hewan yang sudah dinazdarkan itu sudah dianggap bukan miliknya lagi. Tetapi sudah menjadi milik Allah SWT. Sehingga secara status, dia dianggap bukan pemilik, karena itu dia kehilangan hak untuk memakan sebagian dari dagingnya.
Berbeda dengan hewan yang belum dinadzarkan, umumnya kita menyembelih hewan qurban tanpa ada prosesi menadzarkanya. Hanya keinginan saja belum bisa disamakan dengan nadzar. Apalagi masih berbentuk uang, itupun belum terkumpul. Maka sangat tidak bisa disamakan dengan hewan qurban yang sudah dinadzarkan.
Hewan qurban yang berstatus nadzar adalah hewan yang sudah dimiliki oleh sesorang, baik karena dipeliharanya sejak kecil atau dibelinya dari orang lain, lalu sejak itu dia bernadzar untuk dijadikan hewan qurban nanti pada hari Raya Idul Adha atau hari tasyrik.
Sedangkan sembelihan qurban yang tidak pernah dinadzarkan, boleh dibagi tiga. Pertama, boleh dimakan sendiri. Kedua, boleh dihadiahkan. Ketiga, disedekahkan kepada fakir miskin.
Kebolehan untuk memakan sendiri sebagian dari hewan qurban adalah firman Allah SWT:
فكلوا منها وأطعموا اليائس الفقير
Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (QS. Al-Hajj: 28)
والبدن جعلناها لكم من شعائر الله
Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. (QS. Al-Hajj: 36)
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.

Hewan yang digunakan untuk sembelihan qurban adalah unta, sapi, dan kambing. Bahkan para ulama berijma’ (bersepakat) tidak sah apabila seseorang melakukan sembelihan dengan selain binatang ternak tadi.
Ketentuan Qurban Kambing
Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia.
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.”
Asy Syaukani mengatakan, “(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.”
Ketentuan Qurban Sapi  dan Unta
Seekor sapi boleh dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang (atau 7 orang). Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِى الْبَعِيرِ عَشَرَةً
”Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Idul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor unta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.”
Begitu pula dari orang yang ikut urunan qurban sapi atau unta, masing-masing boleh meniatkan untuk dirinya dan keluarganya. Perhatikan fatwa Al Lajnah Ad Da-imah berikut.
Bagaimana Hukum Qurban Secara Kolektif?
Sebagaimana ketentuan di atas, satu kambing hanya boleh untuk satu orang (dan boleh diniatkan untuk anggota keluarga), satu sapi untuk tujuh orang (termasuk anggota keluarganya), dan satu unta untuk sepuluh orang (termasuk anggota keluarganya), lalu bagaimana jika 1 kambing dijadikan qurban untuk 10 orang atau untuk satu sekolahan (yang memiliki murid ratusan orang) atau satu desa? Ada yang melakukan seperti ini dengan alasan dana yang begitu terbatas.
Sebagai jawabannya, alangkah baiknya kita perhatikan fatwa ulama yang terhimpun dalam Al Lajnah Ad Da-imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) mengenai hal ini.
Soal kedua dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ’Ilmiyyah wal Ifta’ no. 3055
Soal: Ada seorang ayah yang meninggal dunia. Kemudian anaknya tersebut ingin berqurban untuk ayahnya. Namun ada yang menyarankan padanya, ”Engkau tidak boleh menyembelih unta untuk qurban satu orang. Sebaiknya yang disembelih adalah satu ekor kambing. Karena unta lebih utama dari kambing. Jadi yang mengatakan ”Sembelihlah unta”, itu keliru”. Karena apabila ingin berkurban dengan unta, maka harus dengan patungan bareng-bareng.
Jawab:
Boleh berkurban atas nama orang yang meninggal dunia, baik dengan satu kambing atau satu unta. Adapun orang yang mengatakan bahwa unta hanya boleh disembelih dengan patungan bareng-bareng, maka perkataan dia yang sebenarnya keliru. Akan tetapi, kambing tidak sah kecuali untuk satu orang dan shohibul qurban (orang yang berqurban) boleh meniatkan pahala qurban kambing tadi untuk anggota keluarganya. Adapun unta boleh untuk satu atau tujuh orang dengan bareng-bareng berqurban. Tujuh orang tadi nantinya boleh patungan dalam qurban satu unta. Sedangkan sapi, kasusnya sama dengan unta.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Yang menandatangai fatwa ini:
Anggota: ’Abdullah bin Qu’ud, ’Abdullah bin Ghodyan
Ketua: ’Abdul ’Aziz bin ’Abdillah bin Baz.
Dari penjelasan ini, maka kita bisa ambil beberapa pelajaran:
  1. Seorang pelaku qurban dengan seekor kambing boleh mengatasnamakan qurbannya atas dirinya dan keluarganya.
  2. Qurban dengan sapi atau unta boleh dipikul oleh tujuh orang.
  3. Yang dimaksud kambing untuk satu orang, sapi dan unta untuk tujuh orang adalah dalam masalah orang yang menanggung pembiayaannya.
  4. Tidak sah berqurban dengan seekor kambing secara kolektif/urunan lebih dari satu orang lalu diniatkan atas nama jama’ah, sekolah, RT atau desa. Kambing yang disembelih dengan cara seperti ini merupakan daging kambing biasa dan bukan daging qurban.
Solusi dalam Iuran Qurban
Solusi yang bisa kami tawarkan untuk masalah iuran hewan qurban secara patungan adalah dengan acara arisan qurban. Jadi setiap tahun beberapa orang bisa bergantian untuk berqurban. Di antara alasan dibolehkan hal ini karena sebagian ulama membolehkan berutang ketika melakukan qurban.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan tentang orang yang tidak mampu aqiqah, ”Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” Qurban sama halnya dengan aqiqah.
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Dulu Abu Hatim pernah mencari utangan dan beliau pun menggiring unta untuk disembelih. Lalu dikatakan padanya, ”Apakah betul engkau mencari utangan dan telah menggiring unta untuk disembelih?” Abu Hatim menjawab, ”Aku telah mendengar firman Allah,
لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ
Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al Hajj: 36)”
Catatan:
  1. Yang mengikuti arisan tersebut hendaknya orang yang berkemampuan karena yang namanya arisan berarti berutang.
  2. Harga kambing bisa berubah setiap tahunnya. Oleh karena itu, arisan pada tahun pertama lebih baik setorannya dilebihkan dari perkiraan harga kambing untuk tahun tersebut.
  3. Ketika menyembelih tetap mengatasnamakan individu (satu orang untuk kambing atau tujuh orang untuk sapi dan unta) dan bukan mengatasnamakan jama’ah atau kelompok arisan.
Bagaimana dengan Hadits ”Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang belum berqurban”?
Sebagian orang ada yang beralasan benarnya qurban secara kolektif melebihi ketentuan syari’at yang dikemukakan di atas dengan alasan hadits Jabir bin ’Abdillah berikut,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ « بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى ».
”Aku bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menghadiri shalat Idul Adha di tanah lapang. Setelah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkhutbah, beliau turun dari mimbar kemudian beliau diserahkan satu ekor domba. Lalu beliau memotong dengan tangannya, lantas bersabda, ”Bismillah, wallahu akbar. Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang tidak ikut berqurban”.” Mereka beralasan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja niatkan untuk seluruh umatnya yang tidak berqurban, maka berarti kami boleh niatkan qurban untuk satu RT, satu sekolahan atau satu desa.
Sanggahan: Mengenai hadits ”qurban siapa saja yang tidak ikut berqurban”, ini adalah khusus untuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak untuk yang lainnya. Jadi, beliau diperbolehkan berkurban untuk seluruh umatnya (selain keluarganya). Sedangkan umatnya hanya diperbolehkan menyembelih qurban untuk dirinya dan keluarganya sebagaimana dijelaskan di muka.
Al Qodhi Abu Ishaq mengatakan, ”Perkataan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ini –wallahu a’lam- sebagaimana seseorang boleh  berqurban untuk dirinya dan keluarganya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam boleh berqurban atas nama seluruh kaum muslimin karena beliau adalah ayah mereka dan istri-istri beliau adalah ibu mereka.” Oleh karena, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah ayah kaum muslimin, maka beliau diperbolehkan meniatkan qurban untuk dirinya dan keluarganya (yaitu seluruh kaum muslimin).
Kesimpulan:
  1. Penyembelihan qurban untuk diri dan keluarga dibolehkan sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
  2. Penyembelihan qurban untuk diri sendiri dan untuk seluruh umat Islam selain keluarga hanyalah khusus bagi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Dalilnya, para sahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Yang ada mereka hanya menyembelih qurban untuk diri sendiri dan keluarga.
  3. Sebagian kaum muslimin yang menyembelih qurban untuk satu sekolah atau untuk satu RT atau untuk satu desa adalah keliru, seperti ini tidak dilakukan oleh para salaf terdahulu.
- Tambahan pembahasan -
Ketentuan Umur Hewan Qurban
Ketentuan umur untuk hewan qurban tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Unta, umur minimal  5 tahun
  2. Sapi, umur minimal 2 tahun
  3. Kambing, umur minimal 1 tahun
  4. Domba Jadza’ah, umur minimal 6 bulan
Hewan Qurban yang Lebih Utama
Yang paling dianjurkan sebagai hewan qurban sebagai berikut:
1.       Yang paling gemuk dan sempurna. Bahkan jika berqurban dengan satu qurban yang gemuk itu lebih baik daripada dua hewan qurban yang kurus. Karena yang diinginkan adalah daging. Semakin banyak daging yang dimiliki hewan tersebut maka itu semakin baik.
2.       Hewan qurban yang lebih utama adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing. Namun satu ekor kambing lebih baik daripada kolektif dalam sapi atau unta.
3.       Warna yang paling utama adalah putih polos, kemudian warna debu (abu-abu), kemudian warna hitam.
4.       Berkurban dengan hewan jantan lebih utama dari hewan betina.
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
  1. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4:
  • Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama' madzhab syafi'iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
  • Sakit dan tampak jelas sakitnya
  • Pincang dan tampak jelas pincangnya
Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
  • Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, 2I/373 & Syarhul Mumti' 3/294).
2. Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2:
  • Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
  • Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/373)
3. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a'lam. (lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/373)
Semoga pelajaran yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
2.   SHOLAT QODHO
Shalat qodho hukumnya wajib sebagaimana wajibnya melakukan sholat ada’. Shalat qodho ialah : Melakukan shalat di luar waktu yang telah ditentukan, untuk menggantikan shalat wajib harian yang tertinggal. Shalat ada’ ialah : Melakukan shalat wajib harian tepat menurut waktu yang telah ditentukan. Pengertian qodho hanya berlaku bagi shalat-shalat harian (5 waktu). Sedang untuk shalat wajib lainnya, seperti shalat Jum’at, Ied (hari raya, baik ghodir, fitri dan adhha), Ayat dan sebagainya, tidak ada kewajiban untuk meng-qodhonya saat tertinggalkan, kecuali untuk gerhana matahari dan gerhana bulan yang total, walaupun diharuskan untuk melakukannya di luar waktu (qodho gerhana yang total), saat melakukannya tidak diharuskan dengan niat qodho, cukup dengan niat melakukan shalat. Kewajiban qodho ini dibebankan pada setiap orang, baik dengan sengaja dia meninggalkan shalat atau tidak, dia mengerti hukum keharusannya atau tidak, dalam keadaan tidur atau terbangun, bepergian atau di rumah, dan lain sebagainya. Sebagaimana bunyi dalil berikut :
Imam Bagir a.s. ditanya tentang seseorang melakukan shalat dalam keadaan hadas (belum bersuci), atau shalat yang terlewatkan olehnya karena lupa atau tertidur dan belum ia lakukan ? Dijawab oleh beliau : “Wajib baginya untuk mengqodho shalat yang tertinggal kapan saja ia mengingatnya, baik malam maupun siang. Tetapi apabila (timbulnya ingatan) masuk pada waktu shalat berikutnya, dan belum menyelesaikan (melakukan) shalat yang tertinggalkan olehnya, maka lakukan shalat qodho asalkan tidak takut akan habisnya pemilik waktu, karena pemilik waktu lebih berhak untuk dilaksanakan terlebih dahulu daripada shalat qodho. Seusai melakukan (shalat) pemilik waktu, lakukanlah shalat yang tertinggal, dilarang melakukan shalat nafilah walaupun satu rakaat, sebelum tanggungan kewajibannya diselesaikan secara keseluruhan. [Al-Wasail, juz 4, hal. 248.]
Kewajiban qodho ditetapkan dan dipikulkan pada pundak mereka yang memiliki kewajiban ada’, dan kewajiban qodho jatuh dengan jatuhnya kewajiban ada’. Kurang warasnya akal, anak-anak (mereka yang belum menanggung kewajiban), kekufuran, hilangnya kesadaran diri yang tidak disengaja dan lain sebagainya, atau karena keluarnya darah haid, nifas (sehabis melahirkan), pada semua keadaan tersebut tidak wajib qodho (karena kewajiban ada’ terangkat dari mereka), sampai kewajiban ada’ terpikulkan kembali ke pundak mereka (dengan pulihnya keadaan).
Tiga perkara yang menyebabkan hilangnya kewajiban qodho :
1. Melaksanakan kewajiban tepat pada waktunya.
2. Meninggalnya seseorang sebelum masuknya waktu sholat.
3. Kekufuran, kecuali bagi yang murtad kemudian bertaubat kembali.
Dan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

* Wajib mengkodho' (mengulangi) sholat lima waktu yang tertinggal lantaran sengaja, lupa, jahil , tertidur, tidak menunaikannya dengan betul atau lain sebagainya.
* Mereka yang tidak wajib kodho' sholat-sholat yang tertinggal adalah: anak kecil , orang kafir asli yang baru memeluk Islam, orang gila yang sedar, wanita yang haid dan nifas yang menyita semua waktu sholatnya dan mereka yang pingsan di dalam seluruh waktu sholatnya.
* Jika anakbaligh atau oranggilasembuh, atau si pingsan sedar, atau orang kafir masuk Islam scdangkan waktu sholat masih ada walau untuk sekedar satu rekaat maka wajib bagi mereka menunaikan sholat tersebut . Jika tidak dilakukan maka wajib bagi mereka mengkodho'nya.
* Seorang muslim yang murtad atau mabuk wajib mengkodho' sholatnya yang tertinggal.
* Boleh melakukan sholat kodho' bila-bila masa saja, malam siang, dalam keadaan musafir atau pun tidak.
* Anak lelaki yang paling besar wajib mengkodho' sholat ayahnya yang tertinggal lantaran keuzuran yang syar'i.
* Mereka yang mempunyai kewajiban bayar sholat kodho' boleh melakukan sholat sunnat.
* Sholat kodho' tidak wajib dilakukan dengan segera.
* Sholat kodho' boleh dilakukan dengan berjemaah.
* Wajib mengkodho' sholat sempurna (tamam) yang tertinggal secara tamam pula (yakni empat rekaat) walau kini ia dalam perjalanan; dan wajib kodho' sholat qasar yang tertinggal sccara qasar pula walau kini ia dalam keadaan tamam.
* Jika bilangan sholat yang tertinggal cukup banyak, maka kodho'nya tidak wajib dilakukan secara tertib melainkan yang asalnya sememangnya tertib, seperi zohor dan asar, maghrib dan isya' dalam satu hari. Contoh: Jika dalam satu hari seseorang meninggalkan sholat zohor dan asar, atau maghrib dan isya', maka ia wajib mendahulukan zohor sebelum asar, atau maghrib sebelum isya' di dalam mengkodho'nya. Tetapi jika ia meninggalkan sholat zohor di suatu hari, lalu esoknya ia meninggalkan asar, maka ia boleh melakukan mana-mana sholat untuk mengkodho'nya. Atau dalam hari yang sama ia meninggalkan sholat subuh, zohor dan asar, maka ia tidak wajib mendahulukan subuh sebelum zohor dan asar; walau di dalam zohor dan asar itu sendiri ia wajib mendahulukan zohor sebelum asar. Begitulah seterusnya.
* Wajib mengkodho' sholat-sholat wajib selain lima waktu jika itu tertinggal, seperti sholat ayat, lantaran nazar dsb.
* Boleh mengambil upah untuk sholat atau ibadat-ibadat lain sebagai garni kepada mayit yang tclah meninggal. Dan kewajiban mcreka akan terangkat lantaran ibadah yang dilakukan oleh orang upahan ini, sarnada diupah oleh washi (yang diwasiatkan) si mayit, atau walinya, warisnya atau orang lain.
Ada dua kesimpulan setelah melakukan shalat qodho :
 *) Pertama, bagi mereka yang shalatnya (atau kewajiban-kewajiban lain) tertinggal karena lupa (atau karena alasan-alasan lain yang menafikan kewajiban ada’) tidak dianggap berdosa setelah mereka mengqodho’ kewajiban-kewajiban tadi, karena saat mereka lupa kewajiban ditangguhkan sampai mereka ingat atau dengan hilangnya alasan-alasan tadi.
Kedua, bagi mereka yang meninggalkan kewajiban-kewajiban tersebut secara sengaja, tetap mendapat dosa walaupun mereka telah ganti dengan mengqodhonya, karena mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab mereka.
*) Harus tertib saat mengqodho shalat yang tertinggal secara berurutan dan tidak terlewatkan sampai hari berikutnya. Contohnya : Jika yang tertinggal adalah shalat Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, kemudian ingat setelah masuknya waktu Isya, atau yang tertinggal hanya shalat Dhuhur dan Ashar, dan ingatnya setelah masuk waktu Maghrib, atau yang tertinggal adalah shalat yang jenisnya sama (tiga kali shalat Subuh saja misalnya) di hari yang berbeda-beda, maka shalat Subuh walaupun qodho lebih didahulukan dari pada shalat Dhuhur yang ada’, karena keberadaan shalat Subuh lebih dahulu dari pada shalat Dhuhur, walaupun harinya telah lewat.
3. SHOLAT MUSAFIR

Wajib bagi musafir mengqasarkan (mempersingkatkan ) sholatnya yang empat rekaat kepada dua rekaat, dengan syarat-syarat berikut:
1. Dia bermaksud menempuh jarak sejauh lapan (8) farsakh, (lebih kurang 44 km) pergi saja, atau kembali saja atau pulang pergi sekali.
2.Tidak berniat membatalkan perjalanan sebelum sampainya ke tempat tujuan atau ragu-ragu atau membatalkan perjalanan langsung. Jika ini berlaku maka sholatnya mestilah tamam atau disempurnakan sehingga empat.
3. Sebelum sampai ke jarak yang ditentukan di atas, musafir tidaklah berlalu dari kampung halamannya; atau dia berniat untuk tinggal sepuluh hari disana atau lebih ; atau bcrada di pcrjalanan sclama tiga puluh hari dalam keadaan ragu-ragu. Jika itu terjadi maka dia mcsti sempurnakan sholatnya.
4. Musafir (berpergian jauh) bukanlah sebagai kerja tetapnya, seperti pemandu, nakhoda, peniaga yang berkeliling jauh, atau pekerja yang seringkali berkeliling seperti tukang kayu, tukang batu dsb. Atau orang yang kerjanya senantiasa di dalam perjalanan seperti seseorang yang kebanyakan masanya berangkat jauh dari negerinya, seperti peniaga. Mereka wajib menyempurnakan sholatnya dan tidak kosor.
5. Bukan sejenis yang berpindah-pindah tempat seperti golongan badwi. Mereka wajib menyempurnakan sholatnya lantaran sepanjang hayatnya ia tidak pernah bermustautin di tempat tertentu.
6. Tidak berniat melakukan perjalanan yang bermaksiat seperti ingin mencuri, berzina, membunuh, minum arak atau membantu orang zalim dsb.
7. Bukan perjalanan memburu tanpa maksud tujuan. Walaupun ianya tidak haram, namun ia wajib menyempurnakan sholatnya ketika pergi dan qasar ketika pulang jika itu melebih 8 farsakh.
CATATAN:
Musafir boleh melakukan tamam atau qasar di empat tempat berikut: Kota Mekah, Kota Madinah, Masjid Kufah dan Haram Imam Husain.
MUSYAFIR
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya,
Ada seseorang yang tinggal satu jam lagi sampai di negerinya ketika safar, lantas masuk waktu Zhuhur. Kemudian ia pergi ke masjid dan melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar secara jamak taqdim (menggabungkan dua shalat dan dikerjakan di awal waktu, pen). Apakah ia mesti mengulangi shalat Asharnya tadi ketika ia telah sampai di tempatnya (di waktu Ashar, pen)? Manakah yang lebih afdhol, ia mesti menjamak atau ia kerjakan shalat Zhuhur saja karena ia kerjakan shalat-shalat tadi sebelum waktu ‘Ashar?
Jawaban:
Pertama, wajib diketahui bahwa seorang musafir disunnahkan untuk mengqoshor shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at ketika ia keluar dari negerinya sampai ia kembali. Dan ini tidak ada masalah. Adapun menjamak shalat (menggabungkan dua shalat di satu waktu), maka lebih utama menjamak tersebut dilakukan ketika adanya hajat (artinya, ketika sulit mengerjakan shalat di masing-masing waktu saja, pen).
Dari sini kami katakan kepada laki-laki tadi, jika ia ketahui atau yakin bahwa ia bisa sampai di negerinya sebelum masuk shalat yang kedua (yaitu sebelum masuk waktu Ashar dalam kasus ini, pen), maka kami katakan bahwa yang afdhol baginya adalah tidak menjamak shalat. Karena dalam kondisi ini ia memang tidak butuh untuk menjamak shalat. Yaitu “engkau tidak butuh jamak ketika itu”. Meskipun demikian, seandainya ia tetap menjamak shalat dalam kondisi  semacam itu, maka ia tidak wajib mengulangi shalatnya tadi ketika ia sudah sampai di negerinya. Karena kewajibannya adalah ia sudah melepaskan diri dari kewajiban shalat, yaitu dengan dia telah menjamaknya tadi. ...
Penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin ini amat berharga sekali. Ini adalah pelajaran penting yang menunjukkan bahwa tidak setiap seseorang melakukan safar, maka ia diharuskan menjamak sekaligus mengqoshor shalat. Yang tepat, keringanan ketika safar asalnya adalah mengqoshor shalat, yaitu meringkas shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Sedangkan menjamak shalat ada ketika sulit mengerjakan shalat di masing-masing waktu.
Mengqoshor shalat ketika safar yang lebih tepat hukumnya wajib sebagaimana hadits dari ‘Aisyah,
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِى الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِى صَلاَةِ الْحَضَرِ.
Dulu shalat diwajibkan dua raka’at dua raka’at ketika tidak bersafar dan ketika bersafar. Kewajiban shalat dua raka’at dua raka’at ini masih berlaku ketika safar. Namun jumlah raka’atnya ditambah ketika tidak bersafar.
Catatan: Perlu diingat bahwa mengqoshor shalat tetap boleh dilakukan walaupun safar yang dilakukan penuh kemudahan.  Keringanan qoshor shalat itu ada karena melakukan safar dan bukan karena alasan mendapat kesulitan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ
Allah ‘azza wa jalla melepaskan dari musafir separuh shalat.”
Lihatlah, dalam hadits ini qashar shalat dikaitkan dengan safar dan bukan dikaitkan dengan kesulitan. Sehingga walaupun safar yang ditempuh penuh kemudahan, tetap masih diperbolehkan untuk mengqoshor shalat.

4. HAJI BADAL (UPAH HAJI)
(Bagi Yang Uzur atau Telah Meninggal Dunia)
Barangsiapa yang mampu menyambut panggilan haji, kemudian kerana sakit atau lanjut usia tidak dapat melaksanakannya, maka dia diharuskan meminta orang lain untuk menghajikannya. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Fadl bin Abbas ra. Bahwa seorang wanita dari Bani Khats'am berkata, "Wahai Rasulullah saw.! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada hamba-Nya, bapaku seorang yang sudah berumur, tidak mampu mengadakan perjalanan, apakah boleh aku menghajikannya?" Rasulullah saw. menjawab, "Boleh." Ini pendapat Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah. Sementara Imam Malik berkata, "Tidak wajib."
Apabila seorang yang sakit setelah dihajikan sembuh, maka kewajiban hajinya tidak gugur. Yang bersangkutan wajib mengulanginya. Menurut Imam Ahmad kewajibannya telah gugur. Barangsiapa yang melaksanakan haji nazar sementara dia belum melaksanakan haji Islamnya, maka haji nazarnya itu dibalas sebagai haji Islam dan setelah itu ia harus menunaikan haji nazarnya.
Barangsiapa yang meninggal dunia, belum malaksanakan haji Islam atau haji nazar, maka walinya wajib untuk menunaikan haji tersebut dengan biaya dari harta si mayit. Ini pendapat ulama Syafi'i dan Hambali.
Ulama Hanafi dan Maliki berpendapat, "Ahli waris tidak wajib menghajikan si mayit kecuali jika si mayit mewasiatkannya, maka ia dihajikan dengan biaya tidak lebih dari sepertiga harta warisan."
Orang yang melaksanakan haji badal disyaratkan sudah melaksanakan haji untuk dirinya baik mampu atau tidak. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ibnu Abbas r.a., Bahwa Rasulullah saw. mendengar seorang laki-laki berkata, "Aku penuhi panggilan-Mu untuk Syabramah." Rasulullah saw. bertanya, "Apakah engkau telah melaksanakan haji untuk dirimu?" Ia menjawab, "Belum." Beliau bersabda, "Hajilah untuk dirimu kemudian laksanakan haji untuk Syabramah."

Ibadah haji adalah fardhu hukumnya dalam Islam. Maka bila seseorang terhalang menunaikan haji hingga ia wafat maka kewajiban tersebut bisa dilaksanakan oleh orang lain baik keturunannya atau orang yang dapat dipercaya. Kegiatan menghajikan orang yang telah tiada atau orang yang sudah tak mampu melaksanakannya sebab udzur ini disebut sebagai 'badal haji'.
Hampir seluruh ulama memperbolehkan badal haji atau dalam istilah fiqihnya Al Hajju 'anil Ghoir.  Bahkan dalam pelaksanaan badal haji terdapat dua kondisi yang melatar-belakangi; Pertama, mayit mampu secara fisik dan keuangan saat ia hidup. Seseorang yang saat hidup mempunyai kesehatan dan dana yang cukup untuk berhaji, namun karena kehendak Allah Swt maka ia tidak mampu mewujudkan keinginannya untuk berhaji. Dalam kondisi seperti ini maka menjadi kewajiban bagi ahli waris dan keturunannya untuk menghajikan si mayit.
Hal ini berdasarkan dalil: "Ada seorang pria datang kepada Nabi Saw seraya berkata, 'Saat haji difardhukan kepada para hamba, ketika itu ayahku sudah amat sepuh dan ia tiada sanggup menunaikan haji maupun menunggang kendaraan. Bolehkah aku menghajikan dia?' Rasulullah Saw menjawab, 'Lakukanlah haji dan umrah untuk ayahmu!'" HR. Ahmad & An Nasa'
Kalau saja orang tua yang sepuh yang tidak mampu menunaikan ibadah haji dan menunggang kendaraan boleh dibadalkan hajinya, lalu bagaimana kiranya dengan orang yang kuat dan sehat namun belum berhaji Jawabannya tentu lebih boleh lagi untuk dibadalkan. Hal ini berdasarkan dalil hadits shahih lain yang menyatakan bahwa ada seorang perempuan berkata kepada Rasulullah Saw, "Ya Rasul, ibuku pernah bernadzar mengerjakan haji namun ia belum menunaikannya hingga wafat, bolehkah aku berhaji untuknya?" Nabi Saw menjawab, "Berhajilah untuk ibumu!" HR. Muslim, Ahmad & Abu Daud
Adapun kondisi kedua, yaitu orang yang semasa hidup tidak mampu atau orang sepuh masih hidup namun sudah tidak sangup melakukan haji, maka badal haji untuk mereka diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil yang sudah disebutkan di atas. Lalu bagaimana tata-cara badal haji yang diperkenankan:
1)  Orang yang melaksanakan sudah lebih dulu mengerjakan haji untuk dirinya sendiri.
2)  Si pelaksana berniat haji untuk orang yang diwakilkan.
3)  Diutamakan badal haji ini dilakukan oleh ahli waris ataupun keluarga terdekat.
 4) Bila tidak ada ahli waris yang dapat melakukannya, maka boleh diamanahkan kepada orang yang dapat dipercaya.

Itulah keterangan yang dapat diberikan soal ibadah badal haji. Dengan mengerjakan ibadah badal haji, maka pahalanya akan tersampaikan kepada si mayit, juga untuk orang yang melaksanakannya. Hal terpenting adalah bahwa rukun Islam kelima yang menjadi kewajiban bagi mayit sudah tertunaikan dengan cara badal haji ini.
Badal Haji  artinya mewakili orang lain dalam menunaikan ‘ibadah haji, adalah masalah yang sampai sekarang menimbulkan kontroversial. Oleh karena itu, dalam maqalah yang ringkas ini kami mencoba menjernihkan masalah tersebut dan kami berharap penjelasan ini bisa mendatangkan mashlahat bagi semua pihak khususnya yang saling berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebetulnya terdapat beberapa hadits yang menyebutkan hal ini, di antaranya dari Ibnu ‘Abbâs (radhiyallâhu ‘anhumâ) :
Sesungguhnya seorang wanita dari Juhainah telah datang kepada Nabi saw., dan bertanya: “Sesungguhnya ibu-ku telah bernadzar untuk berhaji, namun ia meninggal dunia sebelum berhaji. Apakah boleh aku — menggantikan — berhaji darinya?”. Nabi menjawab: “Hajikanlah. Bukankah kalau ibu-mu berhutang engkau harus membayarnya? Bayarlah, karena haq Allâh itu lebih patut dibayar”. (H.R. Al-Bukhârî lihat Fathul-Bârî juz IV hal.64)
Dari Ibnu ‘Abbâs (radhiyallâhu ‘anhumâ) : Adalah Al-Fadhl dibonceng Nabi saw.; maka datang seorang wanita dari Khatsa’am, Al-Fadhl pun melihat wanita itu, dan wanita itu pun melihat Al-Fadhl, maka Nabi saw. memalingkan wajah Al-Fadhl kearah lain. Wanita itu berkata: “Sesungguhnya kewajiban Allâh telah datang kepada ayah-ku yang sudah sangat tua, dan tidak mampu lagi naik kendaraan. Apakah aku boleh menghajikannya?”. Nabi saw. menjawab: “Ya (boleh)”. Peristiwa itu terjadi pada Haji Al-Wadâ’. (H.R. Al-Bukhârî lihat Fathul-Bârî juz III hal. 378 dan juz IV hal.67)
Kedua hadits ini menunjukkan bolehnya seorang anak menghajikan atau melakukan badal haji bagi orang-tuanya yang sudah tidak mampu lagi menunaikan ‘ibadah haji atau yang telah wafat. Al-Imâm Ibnu Hajar berkata : “Hadits ini mengandung faedah (kesimpulan) bolehnya menghajikan orang lain — dalam hal ini orang-tua –; Adapun orang-orang Kuffah berpendapat dengan keumuman hadits ini, bahwa orang yang belum menunaikan haji pun boleh dan shah menghajikan orang lain. Pendapat ini bertentangan dengan jumhur (mayoritas) yang mengkhususkan — badal itu hanya boleh dilakukan — oleh seorang yang sudah menunaikan ibadah haji”. (Fathul-Bârî juz IV hal.69)
Keterangan : Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa menghajikan orang-lain atau badal haji merupakan masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan para ‘ulamâ’; ada 4 (empat) pendapat yang berbeda dalam masalah ini.
Pendapat pertama : Menolak sama-sekali karena menganggap perbuatan ini bertentangan dengan Al-Qur-ân surah An-Najm (53) : 39 : “Dan bahwasanya manusia tidak akan dapat (ganjaran) melainkan dari apa yang ia telah usahakan”. Al-Imâm Ibnu Hajar telah menuqilkan dari Sa’îd bin Manshûr dan beberapa ‘ulamâ’ selainnya dengan sanad yang shahîh, bahwa Ibnu ‘Umar berkata : “Tidak boleh bagi seseorang untuk menghajikan orang lain, begitu-pula pendapat dari Mâlik dan Al-Laits”. (Fathul-Bârî juz IV hal.66)
Pendapat kedua : Boleh secara mutlak, berdasarkan hadits-hadits ini, bahkan boleh dilakukan oleh siapa-saja bagi siapa saja, tanpa syarat. Ini pendapat orang-orang Kuffah seperti yang disebutkan sebelumnya.
Pendapat ketiga : Hanya boleh dilakukan oleh anak terhadap ayah atau ibunya. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Imâm Ibnu Hajar (Fathul-Bârî juz IV hal.70), sementara Mâlik berpendapat bahwa — badal haji — itu boleh dilakukan jika ada wasiat dari yang bersangkutan dan jika tidak, maka tidak boleh dilakukan.
(Fathul-Bârî juz IV hal.66)
Pendapat keempat : Hanya boleh dilakukan oleh anak terhadap orang tuanya, baik melalui wasiat orang tua atau tidak, dengan syarat anak tersebut telah menunaikan ‘ibadah haji sebelumnya. Dan kami lebih cenderung memilih pendapat ini.
Penutup Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa menghajikan orang lain atau badal haji telah menimbulkan perbedaan pendapat yang cukup tajam, khususnya akhir-akhir ini, bahkan telah menjadikan perpecahan yang cukup parah di kalangan kaum Muslimîn, saling menghujat, menyerang, memfitnah dan berbagai perbuatan tercela lainnya yang harusnya tidak boleh terjadi. Karena masalah-masalah khilâfiyah semacam ini hanyalah persoalan cabang (furu’) yang seharusnya dikembalikan kepada masing-masing orang untuk menentukan pilihan bagi dirinya tanpa harus memaksakan pilihan tersebut kepada orang lain. Dengan sikap seperti itu persaudaraan dan persatuan yang merupakan masalah pokok (ushûl) dalam Islâm dapat terus dipelihara dan dijaga.
Kita telah sama-sama menyaksikan betapa wajah dunia Islâm saat ini begitu suram dan terbelakang akibat perselisihan yang amat tajam di antara kaum Muslimîn, terutama dalam soal-soal semacam ini, dan juga telah menguras energi secara sia-sia. Sementara kaum kuffâr bersatu-padu dan semakin menancapkan kekuasaan mereka di negeri-negeri Islâm serta terus menerus membantai kaum Muslimîn dengan kejamnya, kita pun terus-menerus disibukkan oleh perbedaan pendapat yang sangat tidak produktif, saling menghujat, menuduh sesama kita. Ini benar-benar perbuatan tercela dan memalukan.
Marilah kita selesaikan perbedaan pendapat di antara kita secara arif dan bijaksana, dengan tetap mempertahankan persatuan dan persaudaraan, saling menghormat dan kasih sayang sesama muslim. Inilah sikap yang perlu didahulu-kan daripada saling hujat, menuduh, mencela, menghina dsb.(Wallâhu A’lam Bish-Shawâb).
Barangsiapa yang mampu menyambut panggilan haji, kemudian kearena sakit atau lanjut usia tidak dapat melaksanakannya, maka dia diharuskan meminta orang lain untuk menghajikannya. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Fadl bin Abbas ra. Bahwa seorang wanita dari Bani Khats’am berkata, “Wahai Rasulullah saw.! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada hamba-Nya, bapakku seorang yang sudah berumur, tidak mampu mengadakan perjalanan, apakah boleh aku menghajikannya?” Rasulullah saw. menjawab, “Boleh.” Ini pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah. Sementara Imam Malik berkata, “Tidak wajib.”
Apabila seorang yang sakit setelah dihajikan sembuh, maka kewajiban hajinya tidak gugur. Yang bersangkutan wajib mengulanginya. Menurut Imam Ahmad kewajibannya telah gugur. Barangsiapa yang melaksanakan haji nazar sementara dia belum melaksanakan haji Islamnya, maka haji nazarnya itu dibalas sebagai haji Islam dan setelah itu ia harus menunaikan haji nazarnya.
Barangsiapa yang meninggal dunia, belum malaksanakan haji Islam atau haji nazar, maka walinya wajib untuk menunaikan haji tersebut dengan biaya dari harta si mayit. Ini pendapat ulama Syafi’i dan Hambali.
Ulama Hanafi dan Maliki berpendapat, “Ahli waris tidak wajib menghajikan si mayit kecuali jika si mayit mewasiatkannya, maka ia dihajikan dengan biaya tidak lebih dari sepertiga harta warisan.”
Orang yang melaksanakan haji badal disyaratkan sudah melaksanakan haji untuk dirinya baik mampu atau tidak. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ibnu Abbas r.a., Bahwa Rasulullah saw. mendengar seorang laki-laki berkata, “Aku penuhi panggilan-Mu untuk Syabramah.” Rasulullah saw. bertanya, “Apakah engkau telah melaksanakan haji untuk dirimu?” Ia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Hajilah untuk dirimu kemudian laksanakan haji untuk Syabramah.”

Haji (Bahasa Arab: حج‎, Hajj) adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.
Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Dzulhijjah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.

Definisi Haji

Definisi Haji
Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. [1] Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara’, haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka’bah dan Mas’a(tempat sa’i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa’i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.
Definisi Haji Secara etimologis, haji berarti pergi menuju tempat yang diagungkan.
Secara terminologis berarti beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik haji, yaitu perbuatan tertentu yang dilakukan pada waktu dan tempat tertentu dengan cara yang tertentu pula. Definisi ini disepakati oleh seluruh mazhab.
Barangsiapa yang mampu menyambut panggilan haji, kemudian karena sakit atau lanjut usia tidak dapat melaksanakannya, maka dia diharuskan meminta orang lain untuk menghajikannya. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Fadl bin Abbas ra. Bahwa seorang wanita dari Bani Khats’am berkata, “Wahai Rasulullah saw.! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada hamba-Nya, bapakku seorang yang sudah berumur, tidak mampu mengadakan perjalanan, apakah boleh aku menghajikannya?” Rasulullah saw. menjawab, “Boleh.”
Ini pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah. Sementara Imam Malik berkata, “Tidak wajib.”
Apabila seorang yang sakit setelah dihajikan sembuh, maka kewajiban hajinya tidak gugur. Yang bersangkutan wajib mengulanginya. Menurut Imam Ahmad kewajibannya telah gugur. Barangsiapa yang melaksanakan haji nazar sementara dia belum melaksanakan haji Islamnya, maka haji nazarnya itu dibalas sebagai haji Islam dan setelah itu ia harus menunaikan haji nazarnya.
Barangsiapa yang meninggal dunia, belum malaksanakan haji Islam atau haji nazar, maka walinya wajib untuk menunaikan haji tersebut dengan biaya dari harta si mayit. Ini pendapat ulama Syafi’i dan Hambali.
Ulama Hanafi dan Maliki berpendapat, “Ahli waris tidak wajib menghajikan si mayit kecuali jika si mayit mewasiatkannya, maka ia dihajikan dengan biaya tidak lebih dari sepertiga harta warisan.”

5.             BINGKISAN LEBARAN

Kini, Ramadhan dan Idul Fitri sudah selesai. Kegiatan kini yang dilakukan masyarakat adalah saling bermaaf-maafan, silaturrahim dan memberi hadiah. Namun penjual parsel sepi karena adanya larangan.

Agar budaya memberi hadiah tidak lenyap, perlu dijelaskan terutama kepada yang bukan pejabat. Karena hanya pejabat Negara saja yang dilarang. Dan bukan berniat melawan kebijakan pemerintah.

Hadiah itu mempunyai 3 makna: (l) Pemberian ( kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan ). Misalnya hadiah hari ulang tahun. (2) Ganjaran ( karena menang dalam suatu perlombaan ). (3) Tanda mata, pada suatu perpisahan. Termasuk dalam lebaran, Nobel perdamaian, dan ilmu pengetahuan.(Kamus Besar : 291).

Dalam Bahasa aslinya Arab, Hadiah akar katanya dari 3 huruf, yaitu “ Ha-Dal-Ya” (Hadaya) berarti, pemberian petunjuk, atau pemberian sesuatu dengan lunak kepada yang disenangi. Atau pemberian apa saja yang menyenangkan. (Maqayis Lughat : 1O66).

Dari kedua standar tersebut, baik yang asli atau transfer, dipahami bahwa “ Hadiah itu bagus, karena memberikan sesuatu kepada siapa yang berprestase,. atau orang dihormati, atau silaturrahim dan persaudaraan. Boleh dilakukan, antara sesama orang kaya, atau status sosial yang sama.

Shadaqah: (sadakah) ialah sebagian harta dari seorang muslim yang di berikan untuk kemaslahatan umat. Pemberian sadakah itu dari orang kaya ke pada orang miskin. Atau dari atas ke bawah.

Didalam disebutkan “Dan bertolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam ( berbuat ) dosa dan permusuhan). (QS. 5 : 2 ).

Menurut Tafsir M. Al-Bayan, tolong menolong yang dimaksud diatas, adalah yang sesuai perintah Allah. Bukan yang dilarang oleh Allah dan Rasul. Misalnya menolong atau memberi sesuatu, tapi tidak ikhlas. Termasuk dilarang menyontek dalam ujian, dan berkolusi dalam kejahatan. (Lihat Juz II :l55).

Dari ayat tersebut dipahami, bahwa memberi dengan niat tertentu, supaya di suatu waktu ditolong juga, tidaklah termasuk ikhlas. Apalagi kalau memberi dengan ikatan moral, agar meloloskan permintaan.

Itu sebabnya Al-Quran menyatakan, “ La nuridu minkum jazaan wala syukura “. ( Kami memberi, bukan menunggu balasan atau mengharapkan ucapan terima kasih), di dunia.
Jadi Sogok :
Hadiah yang diberikan, jika nawaitunya agar permohonan dipenuhi, misalnya agar anaknya di sekolah, diluluskan sekalipun bodoh, lalu si penerima menginjak-injak pelamar lain yang tidak memberi hadiah, yang seperti itulah disebut Hadiah yang berubah menjadi Sogok.(Rasywah).

Semua orang sudah tahu, bahwa sogok adalah larangan Al-Quran : “ Wala ta’kulu amwalakum baynakum bi al-bathil “ (Dan janganlah kamu memakan ( menggunakan ) hartamu, dalam bentuk yang batil ) ( QS. 2: 188). Diperkuat Hadis : “Al-Rasyi wa almurtasyi fi al-nar “ ( Yang menyogok dan yang disogok, keduanya isi neraka ). (H.R.Muslim).

Seorang teman bertanya, bagaimana jika hasil sogok (batil) itu kita gunakan untuk kebaikan ? Misalnya untuk meningkatkan pendidikan, pembangunan masjid atau dipakai haji ?. Jawabnya tegas, inilah yang disebut menghalalkan segala cara, seperti sistem Machiavelli yang sering digunakan politikus. Tidak dibenarkan ajaran Islam !!!.

Hadis yang lain memperingatkan “Seseorang tidak beranjak dari tempatnya bangkit di akhirat, sebelum mempertanggung jawabkan 4 hal : umurnya ke mana dihabiskan, khusus usia mudanya ke mana dilenyapkan, ilmunya ke mana dimanfaatkan dan hartanya bagaimana cara memperoleh dan ke mana dibelanjakan ?. (HR.Al-Nasai ).

Ketiga pertanyaan yakni umur, masa muda dan ilmu, pertanyaannya cuma satu, yaitu ke mana digunakan ?. Tapi untuk harta, pertanyaannya dua. Pertama, bagaimana cara memperoleh ?.Kedua, ke mana di belanjakan ?. Menurut ulama hadis, jika jawaban harta itu diperoleh dengan batil, pertanyaan kedua tidak dilanjutkan. Silakan masuk sel dulu, sebelum vonnis ditentukan.

Khusus Pejabat :
Imam Hanafi, ulama besar 4 Mazhab, ketika hendak diangkat Hakim, dihadiahi seorang perempuan muda dan cantik serta uang emas seribu Dinar, oleh seorang penguasa (Khalifah). Hadiah tersebut dikembalikan. Lalu memohon disampaikan kepada penguasa, bahwa perempuan cantik itu tidak ada lagi gunanya baginya, karena sudah tua. Sedang Uang emas itu, masih banyak yang lebih membutuhkan.

Khusus pejabat di Indonesia, sekalipun dari segi agama hadiah berhadiah itu justru dianjurkan, apalagi sesudah lebaran, tapi karena Ulil Amri (pemerintah) melarang, apalagi telah bersumpah di depan umum, bahwa tidak akan menerima pemberian apapun, langsung atau tidak langsung, maka pejabat, tidak boleh lagi menerima. ( Wa Allahu a’lam ).

Islam Mengoptik Praktik Suap, Bingkisan dan Hadiah

Suap dalam Islam dikenal dengan istilah risywah. Yaitu pemberian yang lazimnya berbentuk uang atau materi, dengan maksud-maksud tertentu yang menguntungkan pihaknya. Misalnya untuk mendapatkan kemudahan atau merekayasa keputusan. Terkait dengan perkara ini, ada tiga komponen yang saling berhubungan: rasyi (orang yang menyuap), murtasyi (orang yang disuap), dan raisy (orang yang menjadi perantara). Tidak ada yang membedakan kedudukannya satu sama lain. Ketiga-tiganya, dalam pandangan Islam, berada pada jurang kenistaan yang sama. Dalam hadis disebutkan, Rasulullah saw. melaknat orang yang memberi suap, menerima suap, dan perantara suap. HR.Ahmad).
Istilah suap (risywah) dalam al-Quran tidak disebutkan secara eksplisit. Hanya saja, ulama ahli tafsir menginterpretasikan beberapa ayat menjurus pada tindakan amoral ini. Dan janganlah kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui, firman Allah dalam al-Baqarah ayat 188. Al-Haitsami dalam al-Zawahir dan al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah menafsirkan ayat tersebut secara spesifik ihwal suap-menyuap. Yaitu larangan mengulurkan pemberian kepada hakim dengan cara menyuap untuk memuluskan perkara dalam pengadilan. Penafsiran ini sejalan dengan ayat 22-23 surat Muhammad. Allah berfirman, Maka apakah kamu kiranya jikakmau berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya pengelihatan mereka. Abu Aliyah menafsiri ayat tersebut dengan ungkapan, Membuat kerusakan di permukaan bumi dengan suap dan sogok. (Al-Qurthubi dalam Ahkam al-Quran). Tipologi suap ini juga tergambar dalam firman Allah tatkala mensifati orang-orang Yahudi. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, memakan makanan haram. (QS. al-Maidah: 42). Memakan makanan haram dalam ayat tersebut dimaknai Hasan dan Said bin Jubair dengan sebutan memakan hasil uang suap. Jika seorang hakim menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran, tandasnya dalam tafsir al-Mughni.
Tak ada yang ganjil jika Hasan dan Said mengkaitkan tindakan ini dengan institusi peradilan. Memang pada kenyataannya, tindakan suap-menyuap jamaknya dilakukan di sekitar lingkungan pejabat pemutus perkara. Misalnya polisi, lembaga penyidik (seperti KPK dan BPK), jaksa, hakim, dan pengacara. Orang-orang itu bisanya dikelilingi banyak celah menganga yang bisa dimainkan untuk mempengaruhi sebuah keputusan, mulai dari penyidikan, persidangan, hingga vonis bebas atau penjara. Jika mereka tidak memegang teguh kode etik, maka praktik suap akan selalu mewarnai keputusan persidangan. Kini, tidak hanya di sekitar pejabat pemutus perkara, suap-menyuap menerangsek di lingkungan pejabat publik lain. Bahkan, sudah mentradisi dengan pelbagai istilah yang telah disesuaikan dengan konteks dan modus. Ada uang pelicin, tanda terima kasih, bonus, parcel, hadiah, dan seterusnya. Ketika musim pendafataran CPNS, misalnya, banyak calo yang menjanjikan lulus dengan syarat bayar sekian ruapiah sebagai uang pelicin. Modus lain, ada yang mengirim parcel lebaran berupa kunci mobil kepada sejumlah pejabat kelas atas dengan tujuan agar kegiatan bisnisnya dipermudah dan dilindungi.
Lika-liku di atas adalah ragam modus dalam suap. Tradisi ini hampir merata pada jaringan birokrasi di Indonesia. Buktinya, sejak era keterbukaan bergulir, meski belum keseluruhan, satu demi satu dan perlahan-lahan banyak pejabat publik yang divonis penjara gara-gara suap dan korupsi. Kalau ditilik, modus suap yang terjadi di lingkungan pejabat publik dan birokrasi pada umumnya ini agak susah untuk diferivikasi, karena mirip dengan pemberian biasa tanpa tendensi. Satu misal, orang bawahan memberikan hadiah kepada atasan, apakah ini tidak boleh? Secara normatif, Islam memperbolehkan hal itu. Sebab, memberikan hadiah adalah bagian dari anjuran Rasulullah saw. Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai, sabdanya seperti diriwayatkan Imam Bukhari. Tapi, di sisi lain, siapa tahu kalau pemberian hadiah itu ada maksud-maksud tertentu, misalnya agar cepat naik jabatan? Pemberian yang berimplikasi inilah yang patut diwaspadai karena termasuk suap. Karena takut terjerumus dalam kubangan suap-menyuap, Rasulullah pernah mengintrogasi dan mengaudit uang salah seorang sahabat yang katanya diperoleh dari hadiah.
Alkisah dalam Shahih Bukhari disebutkan, Rasulullah saw. mengangkat salah seorang dari suku Azad sebagai petugas yang mengambil zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan Ibnu Lutbiah. Ketika datang, Rasulullah mengaudit hasil zakat yang dikumpulkan.
Ibnu Lutbiah berkata, Ini harta hasil zakat, dan ini hadiah untuk saya. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya: Kalau engkau benar (itu memang hadiah untukmu), mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu? Singkat cerita, atas kejadian itu, Nabi kemudian berkhutbah sambil menyatakan, jika Ibnu Lutbiah benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Jangan-jangan hadiah itu diberikan tidak tulus dan ada maksud tertentu. Demi Allah, tidak boleh salah seorang kalian mengambil hadiah itu tanpa hak sabda Nabi.
Statemen Rasulullah ini mempertegas, seandainya orang memberikan hadiah maka si penerima harus memperjelas, apakah hadiah itu benar-benar tanpa tendensi atau justru berimplikasi. Jika ada maksud untuk menyuap, maka tidak boleh mengambil hadiah tersebut, karena bukan termasuk haknya. Tindakan suap ini dilarang oleh agama karena berimplikasi pada hal-hal negatif. Pertama, lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan aparat penegak hukum. Praktik suap di lembaga peradilan dapat mencoreng institusi tersebut dan rakyat akan melakukan delegitimasi dan apatis terhadap penegakan hukum.
Kedua, garis demarkasi antara yang hak dengan yang batil menjadi kabur. Karena dalam tiap perkara selalu dimenangkan pihak yang berduit. Orang tidak lagi pusing dengan pasal berapa dalam KUHP yang akan dikenakan, yang penting berapa harga per pasal. Ketiga, kepentingan publik menjadi terbengkalai. Karena adanya sentralitas kekuasaan oleh orang-orang berduit, kepentingan rakyat pun terpinggirkan. Logikanya, siapapun bisa melakukan apapun, asal ada materi untuk memuluskan keinginan. Akhirnya, korupsi pun dilakukan bersama-sama sembari membungkam (menyuap) pihak-pihak yang bersuara.
Jika ini yang terjadi, betul apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam riwayat Thabrani, bahwa tidak ada tempat yang patut bagi mereka kecuali di neraka, sebab perbuatan itu senantiasa menodai hak rakyat dan mengambil alih kepentingan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar